Ketika Daun Para Berjatuhan
Daftar Isi
Rumah berpintu triplek itu digedor dengan kasar. Tarman, sang empu rumah terperanjat,
hatinya menciut seperti kapas terendam air. Beberapa detik kemudian, ia
terlihat melongokkan kepalanya keluar. Segera dia buka pintu lebar, ketika melihat
siapa yang datang.
“Eh, pak Sobri. Masuk, Pak!”
pinta Tarman. Dahinya mengernyit, kantung mata belum terbuka lebar, sinar
matahari yang tertutup kabut asap sedikit menyilaukan pandangannya. Ia kucek
mata yang belum terbuka sempurna.
“Gimana mau dapat duit, jam
segini masih ngorok?” cerca tamunya
yang berpawakan tinggi dengan dahi bersih dan sedikit menonjol.
“Baru tertidur pak, semalam si
kecil nangis terus, demam,” jawab Tarman, bersandar pada dinding triplek yang
rapuh.
“Hmm … ” Sobri salah tingkah,
tak enak hatinya sudah menggedor-gedor pintu, sementara seorang bayi sedang
sakit. Namun, ia enggan menyadari kesalahannya. Mengusir ketidakenakan, dinyalakan
korek api untuk membakar sebatang rokok yang berada di mulut. Ia hisap
dalam-dalam, lalu dari mulutnya mengeluarkan asap yang mengambang bersama
pikiran.
“Man, kamu kok tidak ada kabar?
Nelpon ndak. Kerumah juga ndak. Saya
cek kebun ndak pernah kamu deres lagi ya?”
“Bener, Pak. Saya ndak deres lagi. Maaf!” jawab Tarman dengan
perasaan getir. Akhir-akhir ini semua jadi rumit. Angin kemarau menerbangkan
dedaunan para, membuat getah enggan untuk keluar dari pembuluh lateks. Disusul
dengan harga karet yang hanya mencapai lima ribuan per kilo. Anak sakit butuh
uang untuk berobat. Otak Tarman seperti dihentak-hentak.
“Kusuruh aja orang deres ya?” kata Sobri, mengulum asap di mulutnya.
“Janganlah, Pak. Kasihan kami,
mau makan apa nanti?”
“Kamu gak deres juga ‘kan?”
“kalau harga sudah lumayan, saya
segera deres lagi, Pak.”
“Deres aja sekarang, kumpulin, jual kalau harga mahal!” Titah pak
Sobri.
“Harian saya dan keluarga makan
apa, Pak? Jawab Tarman, matanya mulai memanas. Ia mengingat kebutuhan yang
sulit untuk dipenuhi. Pekerjaan serabutan apapun ia jabani, demi bisa
menyajikan nasi untuk anak dan istri.
Sobri terlihat berfikir keras,
anaknya yang sedang kuliah di kedokteran juga sedang butuh transferan yang
lumayan banyak. Tarman tak bisa diharapkan, tepatnya kebun karetnya. Musim
kemarau membuat daun para berjatuhan. Getah yang diharapkan, kering kerontang.
Harga karet juga turun drastis entah sampai kapan. Karyawan pabrik pengolahan
karet juga banyak diberhentikan, imbas harga karet. Sobri menghisap batang terakhir rokoknya, dihembuskan dengan kasar.
“Man, besok pagi kamu siap-siap,
ada kerjaan!” kata Sobri mulai mengingat sesuatu.
“Alhamdullillah, Pak. Di mana,
Pak? Kerjaan apa?” balas Tarman dengan netra berbinar.
“Kebun Lodri, yang lima hektar
mau diganti sawit.”
“Nerbas, Pak?” tanya Tarman penasaran, dalam pikirannya kalau nerbas sebanyak lima hektar, membutuhkan
waktu yang lama. Kalau sehari diupah 90.000 berarti musim kemarau sudah bisa
terlewat dengan lega. Tidak perlu cari-cari pekerjaan yang lain.
“Dibakar! Nanti upahmu 800.000,”
jawab Sobri setengah berbisik. Tarman terlihat bergidik ngeri.
“Kamu takut, Man? Tidak masalah,
aku jamin.”
Tarman tiba-tiba teringat anak
tetangganya yang seminggu lalu, meninggal gara-gara sesak nafas. Balita yang di
sore hari masih berjalan-jalan ke rumah itu, paginya harus dikuburkan. Konon
karena kabut asap yang semakin membuat dada orang dewasapun pengap.
“Gaklah, Pak. Aku takut.”
“Kamu sepelekan aku, Man? Aku
yang menjamin tidak akan ada apa-apa.”
“Bukan, Pak. Aku takut pada Allah,
kabut asap sudah sangat tebal.”
“Halah! Nanti hujan juga hilang.
Gimana?” Tarman hanya menggelengkan kepala ragu.
“Sok, kamu, Man! Payah runding sama kamu. Sudahlah. Itu kebun
karet biar orang saja yang deres.”
Jawab Sobri kesal. Lalu pergi tanpa meninggalkan salam.
Tarman memandang punggung pak Sobri yang menghilang di sela-sela pohon
para. Hanya terdengar suara desau angin yang menerbangkan dedaunan. Sesekali terdengar
suara biji para yang pecah menimpa atap rumahnya. Diambil sepeda ontel yang
terletak di samping rumah. Setelah permisi kepada istri yang sedang menyusui
anak, ia pun menggayuh mengikuti roda berputar. Sebait harapan semoga ada yang
membutuhkan tenaganya, lalu membawa uang pulang.
Para = Pohon karet
Deres = menyadap karet
Nerbas = memangkas
Salam dari Valletta