Solusi Mengatasi Persoalan Pembelajaran Daring
Daftar Isi
Pembelajaran daring sudah berjalan
memasuki bulan ke-5. Tidak tahu kapan akan berakhir karena kasus positif virus covid
19 masih terus meningkat. Baru-baru ini viral video seorang ibu rumah tangga
yang sedang mengajari anaknya. Alih-alih mendapatkan pembelajaran, anak
tersebut terlihat menangis keras, berteriak dan menghindar. Karena sang ibu, mencubit,
memukul bagian badan dan kepala ketika anaknya tidak mampu menjawab pertanyaan
yang diberi sang ibu. Ini adalah salah satu dari seribu persoalan pembelajaran
daring.
Mengatasi Persoalan Pembelajaran daring |
Sebagai guru dan seorang ibu dari dua
orang anak, terasa ngilu melihat video tersebut. Beban yang ditanggung seorang
ibu sekarang ini memang berat, belum lagi selesai main guru-guruan, harus
mengerjakan pekerjaan rumah, mengasuh anaknya yang lain, dan sakit kepala
memikirkan apa yang harus dimakan hari ini. Namun, haruskah mengorbankan anak
dengan menumpahkan kemarahan kepadanya? Padahal, ini usia golden age mereka,
dimana apa yang kita perbuat pada mereka, ikut serta dalam membangun karakter
mereka.
Jadi, berdamailah dengan kondisi, kita
yang paling tahu apa masalahnya. Termasuk masalah yang timbul dalam
pembelajaran daring. Harus dicarikan solusi, berikut ini solusi mengatasi
persoalan pembelajaran daring:
Pembelajaran daring, orang tua tertekan inilah solusinya
Beberapa waktu lalu, saya menemukan
keresahan para walimurid. Mendatangi, meminta privatkan anaknya. Takut
ketinggalan pelajaran karena tidak bisa optimal membimbing anaknya. Ada
kekhawatiran orang tua, kalau anaknya tidak mampu menyerap pembelajaran dengan
baik.
Nah, saya menemukan solusi ini dalam
Kulwap “Mendidik anak di Era New Normal”. Kata Ustadz Misbahul Huda, orang tua
akan tertekan bila menyikapi hal ini dengan cara pandang ‘memindahkan sekolah
ke rumah’. Stres, sebab orang tua tidak punya kemampuan yang sama dengan para
guru di sekolah.
Maka dibutuhkan cara berfikir yang
berbeda dari orang tua bahwa terkait pendidikan anak. Apa itu?
Re Defenisi Sukses.
Kita ulang dalam memahami arti sukses.
Biasanya sukses distandarkan dengan nilai anak tinggi, dapat ranking, anak bisa
calistung dalam waktu singkat, bisa bahasa inggris. Maka gantilah dengan
memahami bahwa anak yang sukses adalah
anak yang bisa mandiri di usia dini dan mantap secara spiritual. Tidak hanya
intelektualnya yang terbangun namun juga secara emosional. Adakah yang masih
ingat apa pelajaran waktu SD dulu?
Jadi, daripada marah-marah. Emosi. Teriak-teriak
menghadapi anak yang belum bisa menjawab soal. Lebih baik, ajak anak bersikap
mandiri dan paham spiritual. Bisa diawali dengan bangunkan anak sebelum Shubuh,
lalu, semangati untuk shalat shubuh. Tidak lupa sebelum meninggalkan kamar
pastikan anak ditemani merapikan tempat tidur. Membaca doa sebelum dan sesudah
masuk kamar mandi.
Latihlah life skill yang
ringan-ringan. Ini akan memberikan dampak yang luar biasa untuk anak di masa
yang akan datang.
Lalu, bagaimana dengan pelajaran daring,
membaca menulis dan berhitung?
Untuk orang tua yang memiliki anak
usia TK dan baru masuk SD tentu kadar stresnya lumayan tinggi. Barangkali,
sangat sulit mengajari anak sendiri membaca dan menulis. Ada tulisan seorang teman Citra yang membahas cara terbaik mengajari anak menulis. Menurut ustadz Fitrah
Ilhami, tidak harus memaksakan anak pandai membaca menulis dan berhitung.
Mengajarinya diusahakan, tapi memaksanya tidak. Jadi dibawa santai saja. Berikan
anak buku-buku yang menarik dan bergambar. Dengan begitu ia akan asyik mengenal
huruf tanpa kesan dipaksa.
Bagaimana dengan pelajaran daring? Jika
anak sanggup, ikuti. Jika terlalu berat, guru pasti bisa mengerti dengan hanya
mengirimkan tugas tiga baris tulisan rapi. Dan ceritakan, goal yang orang tua
capai di rumah. Yang terpenting komunikasi orang tua dan guru.
Saya pernah dengar ceramah parenting
kalau di Jepang, pelajaran calistung itu diajarkan pada usia 9-10 tahun. Kalau di
Indonesia berarti calistung baru belajar
ketika ia kelas 3 – 4 SD. Lalu saat TK dan kelas 1 dan 2 anak-anak akan belajar
apa? Uniknya, pada usia dini, anak-anak di Jepang diajari tentang pelajaran
life skill seperti mengantri di loket, mengantri di toilet umum, anak diajari
tentang tidak bolehnya menyerobot antrian, berani naik kendaraan umum, bisa
makan sendiri, ikat tali sepatu sendiri. Mereka juga ditanamkan moral seperti
selalu berbicara 4 kata ajaib (permisi bila lewat di depan orang tua, bilang
tolong jika membutuhkan sesuatu, mengucap terimakasih setelah mendapat bantuan,
dan tak lupa minta maaf ketika melakukan kesalahan pada teman atau orang tua).
Mereka dikatakan naik kelas jika
sudah dapat melakukan life skill tersebut. ternyata, life skill itu mendarah
sehingga yang membuat Jepang menjadi negara hebat. Bayangkan jika Ananda mempunyai
life skill yang religious!
Nah, jangan tertekan dengan
persoalan pembelajaran daring. Bawa santai. Bersyukurlah kita punya banyak
waktu untuk melatih life skill anak kita di rumah. Tentunya pahalanya untuk
kita ‘kan?
Selain peran guru saat berlangsung PJJ,peran orang tua juga penting agar PJJ nya berjalan sesuai harapan dan anak dapat menyerap ilmu dengan baik.